Rabu, 11 Januari 2012

The Power Of Love *Part 24* (Repost)

The Power Of Love *Part 24*

Gadis itu terus saja berkutat dengan bukunya. Hari ini, jam pertama kosong. Tidak ada guru. Jadi ia memutuskan untuk melarikan diri ke perpustakaan guna membaca buku.

Ia terus saja membolak-balik buku yang sedang ia baca. Dari halaman satu ke halaman lainnya. Masih dengan serius ia memperhatikan buku itu.

Hingga seseorang tiba-tiba masuk ke dalam perpustakaan yang kebetulan sedang sepi itu. Sehingga membuat gadis itu terlonjak kaget dan spontan mengalihkan pandangannya ke arah pintu.

Ia mengernyitkan dahi, kesal. Waktu membacanya diganggu oleh orang itu. Ia mendelik ke arah laki-laki itu.

“he? Ngapain kamu ke sini? Tumben, mau ke perpus! Biasanya juga nongkrong di kantin?” tanyanya sambil kembali membaca buku itu.

“ye, suka-suka guelah! Kaki-kaki gue! badan-badan gue!” sahut si laki-laki itu.

Gadis itu hanya menghembuskan nafas. Memang benar seperti itu sih. Untuk apa juga, ia mengurusi laki-laki itu.

Si laki-laki tadi, melangkah menuju rak buku. Mencari-cari buku yang sekiranya menarik untuk dibaca. Ia tak begitu memperhatikan jejeran buku-buku itu. Matanya terus melirik ke arah si gadis.

Memang niatnya ke sini, bukan untuk membaca buku. Sangat tidak mungkin, ia ke perpustakaan untuk membaca buku.

Ia sendiri juga tidak tau, mengapa kakinya membawanya ke sini. Tadi ia hanya mengikuti kaki dan hatinya. Hatinya pun menyuruhnya ke sini. Entahlah. Untuk alasan apa hatinya menyuruhnya seperti itu.

Akhirnya, ia mengambil asal salah satu buku yang sampul luarnya terlihat menarik. Ia pun segera melangkah menuju ke arah meja panjang yang memang sengaja disedikan di perpustakaan itu agar para murid lebih nyaman membacanya.

Ia memilih 2 bangku di samping gadis itu.

“ehem…”

Sedikit deheman, sebelum ia membuka buku itu, dan –berpura-pura- membacanya. Hanya berpura-pura, karena ssungguhnya, perhatiannya memusat pada gadis yang duduk dua bangku di sebelah kirinya itu.

Hening. Tidak ada suara orang yang berbicara. Hanya ada keheningan dan suara angin dari AC yang  terdapat di ruang perpustakaan itu.

‘ish, kenapa tuh ank diem aja sih?! Ga nyapa gue gitu! Err.. bosen banget!’

Merasa bosan dengan keadaaan seperti itu, akhirnya, si laki-laki itu tertawa.

“hahahahha”

Si gadispun menoleh ke arah lak-laki itu. Mendelik ke arahnya. Membuat si laki-lakipun menoleh.

“apa lo liat-liat?!!” juteknya.

“berisik!”

“suka-suka guelah! Mulut-mulut gue!”

Si gadis itu memutar kedua bola matanya. Dasar jelek! Rutuknya dalam hati.

Suasana kembali hening. Dan pemuda itu semakin risih dibuatnya. akhirnya ia kembali mencari perhatian dengan cara kembali tertawa.

“hahahaahahaha”

Kali ini tawanya terdengar lebih nyaring. Dan si gadis lagi-lagi kembali menoleh dan mendelik ke arah pemuda sedikit sedeng di sebelahnya itu. Apa-apaan sih nih cowo! Pikirnya.

“hahahaha”

“heh, berisik!”

“hahahaha”

Gadis itu menghela nafas. Baiklah, dia yang akan mengalah. Ia bangkit berdiri dari duduknya sambil menutup buku yang tadi di bacanya itu. Lalu menggeser bangkunya sedikit dengan kakinya dan melangkah hendak meninggalka perpustakaan itu.

Si pemuda tadi berhenti tertawa dan menoleh ke arah gadis tadi. Ia mengerutkan keningnya.

‘lah? Mau ke mana tuh anak?’ batinnya bertanya.

Iapun ikut berdiri dan segera menyusul gadis itu dan menahan tangannya.

“mau ke mana???”

Gadis itupun tersentak kaget karena tiba-tiba tangannya di genggam oleh si pemuda itu. Ia berhenti melangkah, dan terdiam mematung di tempatnya.

“lo mau kemana sih Ik??”

Si gadis, masih tidak menjawab. Hanya menatap pemuda di hadapannya.

“gue mau ngomong sesuatu sama lo!”

“a..apa??”

Entah mengapa, jantungnya serasa berhenti berdetak, saat tangan tadi menggenggam pergelangan tangannya. Dan entah mengapa sekarang, ia menjadi gugup seperti ini.

“em.. itu, anu…” si pemuda itu, menggaruk tengkuknya yang sebenarnya tidak gatal sama sekali. Ia bingung harus bagaimana mengatakannya.

“apaan sih?! Yang jelas dong kak ngomongnya!”

“em.. itu Ik, itu…”

Hanya itu yang keluar dari mulutnya.berharap, Oik mengerti apa yang ingin ia ucapkan. Aneh. Baru kali ini ia gugup berbicara dengan seorang gadis. Padahal ini bukan kali pertamanya ia berbicara dengan seorang wanita.

Oik mengernyitkan kening pertanda bingung. Apa sih yang ingin dikatakan pemuda ini?

“ah kelamaan!”

Oikpun kembali melangkahkan kakinya hendak meninggalkan pemuda aneh itu. Sebelum akhirnya ia terdiam terpaku karena mendengar kalimat yang Cakka ungkapkan padanya.

“gue suka sama lo!”
***

Rio maratapi tangannya yang terus mengeluarkan darah. Perih. Seperih hatinya saat ini. Ada segumpal emosi yang sangat ingin ia lampiaskan. Namun ia tak tau harus melampiaskan ke siapa.

Tidak! Tidak ke Ify! Ia tidak sangup melihat setiap tetesan air matanya yang mengalir di pipi gadisnya itu. Ia tidak sanggup merasakan bagaimana sakitnya melihat gadisnya itu terluka.

Ia memperhatikn tangan kanannya yang semakin berwarna merah karena darah yang terus-terusan keluar dari tangannya. Ia tak tau apa yang harus dilakukannya sekarang. Terlalu menyakitkan. Mengingat bagaimana kekasihnya itu membela si ‘brengsek’ itu di hadapannya.

‘sial!’ umpatnya dalam hati.

Aaah, mengapa tadi ia tak benar-benar melampiaskannya saja! Mengapa juga iaharus tidak tega!? Menagap ia harus kasihan pada gadisnya itu?! Mengapa ia tidak bisa?! Bodoh!

Tidak tidak! Ia tidak boleh berfikiran seperti itu! Kenyamanan sang kekasih adalah segala-galanya. Ia tak mau membuat gadisnya itu menjadi takut dengannya. Tidak! Ia ingin gadisnya itu merasa nyaman di sampingnya!

Semua pikirannya itu terus melayang-layang di benaknya. sampai kehadiran seseorag membuyarkan segalanya. Rio membuang mukanya ke arah lain.

Ify, menarik tangan Rio. Ia letakan di atas roknya, lalu ia membuka botol air mineral tak dingin yang ia bawa tadi. Ia sengaja, memang ingin mengobati luka Rio.

Rio menarik kembali tangannya. Bukan! Ia bukan masih marah! Ia, gengsi…

“ga usah bandel! Mau infeksi apa!?”

Ify sedikit membentak dan kembali menarik tangan Rio. Ia siramkan air itu ke tangan Rio. Melunturkan darah yang masih bercucuran di tangan Rio. Membuar Rio merintih kesakitan.

“aargh… perih! Aaargh!”

“tahan!”

Setelah darahnya sudah hilang, ia mengelap tangan Rio dengan sapu tangannya. Dibalutkannya sapu tangan itu di telapak tangan Rio. Lalu ia mengajak Rio ke UKS.

Setelah berada di UKS, Ify memaksa Rio untuk duduk di salah satu kurs yang ada di sana. Sedangka ia sendiri mencari kotak P3K.

Ia menghampiri Rio dan mengeluarkan betadine dan teman-temannya. Lalu mulai mengobati luka Rio.

Sesekali Rio merintih karena merasakan perih yang luar biasa. Namun ia biarkan Ify mengobati tangannya.

“aw aw sa..sakit!”

“berani main api! Harus berani kebakar! Makanya jadi orang tuh ga usah sok sok an! Pake acara nonjok kaca segala! Emangnya enak! Lukakan!!” ceramah Ify.

Rio hanya mendengarkan tanpa hendak membalas ucapan Ify yang lebih ke arah menyindirnya. Memang yang Ify katakan itu benar kok! Bodoh sekali ia tadi! Menonjok cermin itu! Lihat sekarang! Tangan kanannya terluka! Siapa yang rugi?? Ya dirinya sendiri!

Habisnya, tadi ia benar-benar tidak bisa mengontrol emosinya. Memang pemuda labil! Makanya kalau mau melakukan sesuatu itu dipikirkan dulu! Apa akibatnya?! Sekarang, bagaimana ia mengikuti pelajaran? Menulis saja ia tak bisa!

Setelah sekitar 10 menit mengobati luka Rio dalam hening, akhirnya selesai juga. Ifypun membereskan peralatan yang tadi ia keluarkan. Ia mengembalikan kotak itu ke tempatnya. Setelah itu, tanpa berkata apapun, ia keluar meninggalkan Rio.

Rio menghela nafas. Huft. Ini semua salahnya! Mengapa ia terlalu egois?! Mengpa ia begitu emosi? Mengapa ia labil sekali? Mengapa ia menjadi pendendam seperti ini? Seandainya saja ia tak membuat artikel di mading itu. Tidak akan begini jadinya kan?!   Arrrgh!!
***

Apa yang barusan dikatakannya tadi? Ia menyukai Oik??? Apa benar itu??? Tapi, Cakkakan playboy?! Bukankah seorang playboy itu, memang mudah sekali mengatakan suka, atau cinta pada seorang gadis??!

Ahh, taulah! Toh, Cakka kanb tidak meminta jawaban padanya. Jadi ia tidak perlu repot-repot memikirkan itu semua!

Oik terus melangkahkan kakinya menuju ke kelasnya. Hingga di kelas, ia menemukan Ify dalam keadaan yang kurang baik. Matanya terlihat sembab. Juga ada sedikit noda darah di kemejanya. Keadaannya sangat kusut. Wajahnyapun memerah.

Oik menghampiri Ify yang sedang termenung di bangkunya itu.

“kamu kenapa Fy?” tanya Oik.

Ify tersentak mendengar Oik bertanya padanya. Namun di detik berikutnya, ia kembali seperti biasa lagi. lalu menggeleng untuk menjawab pertanyaan Oik.

“cerita aja! Itu ada darah di baju kamu!”

Ify menghela nafas. Lalu menatap Oik.

“kak Rio Ik!” jawabnya lemas.

“kenapa kak rio??”

“dia bikin artikel tentang ka Alvin di mading… ya intinya ngejelek-jelekin kak Avin gitu. Ya, gue marah karna menurut gue, itu ga bener! Ngapain dia ngejelek-jelekin kak Alvin gitu!? Tadi kita berantem di aula. Terus dia…” Ify menceritakan semuanya, hingga saat ia mengobati Rio.

Oik melongo kaget mendengar cerita Ify. Gila, nekat banget tuh orang! Pikirnya.

“terus sekarang dia gimana??”

Ify mengagkat bahunya pertanda ia tidak tau. Tadikan sehabis mengobati Rio, ia langsung kembali ke kelas tanpa bertanya apapun. Jadi ia tidak tau bagaimana Rio setelah itu.

“yaampun. Sabar yaa Fy! Semua pasti bakal cepet selesai.”

Oik mengelus-elus pundak Ify. Ify tersenyum..

“makasih ya Ik!”
***

Alvin menatap tajam ke arah Rio yang sedang melangkah menuju tempat duduknya. Untuk sementara, ia pindah bersama Gabriel. Sedangkan Rio sendiri duduk dengan Cakka. Tidak lucukan jika mereka duduk berdua?

Ia sangat tidak menyangka, sabahat yang selama ini ia banggakan, ia kagumi, ia segani, ternyata tega menusuknya dengan cara seperti itu. Benar-benar picik sekali otaknya!

Ia tersenyum miring kala Rio juga menatapnya dengan tatapan yang lebih membunuh. Ia pikir ia takut! Tidak!

Ia mengaku ia memang bersalah! Ia rela dihukum untuk itu. Tapi, bisa tidak dengan cara yang lebih terhormat? Katanya ketua OSIS? Kenapa bisa-bisanya melakukan cara picik seperti itu? Ia kembali menarik ujung bibirnya hingga membentuk sebuah senyuman meremehkan.

Tadinya, ia berfikir, bahwa ia memang benar-benar orang terendah yang ada di dunia ini. Tapi ternyata, si ‘ketua OSIS’ itu lebih rendah dibanding dirinya! Walaupun ia sudah melakukan hal yang salah, setidaknya niatnya baik ka? Untuk menolong kekasih ‘sahabat’nya yang kala itu sedang dalam keadan darurat.

Sedangkan si ‘ketua OSIS’ itu? Apa? Dia sudah melakukan hal yang menurutnya, KAMPUNGAN! Masih zaman apa hari gini ngehasut-hasut orang lain??? Haha. Tawanya dalam hati.

Alvin berdiri kala Rio melewati mejanya. Menghentikan langkah Rio. Mencegahnya.

Riopun berhenti saat Alvin tiba-tiba berdiri di hadapannya. Tatapan sengitnya ia tunjukka pada Alvin. Begitupun dengan Alvin. Tatapannyapun tak kalah sengitnya.

Kebencian yang luar biasa terpancar dari tatapan Rio. Rupanya, ia benar-benar membenci ‘sahabat’nya itu.

“gue ga suka cara KAMPUNGAN lo itu!” ucap Alvin dengan sinisnya dan penenekanan pada kata kampungan.

Rio mengalihkan pandangannya dan tersenyum miring.

“itu semua KENYATAAN!” balas Rio tak kalah tajam.

“oh ya? Iya sih.. itu emang bener! Tapi cara lo itu BASI tau gak!? Ga dapet cara yang lebih terhormat ya pak KETOS, sampe-sape ngandelin cara KAMPUNGAN kaya gitu??? Kaya di sinetron-sinetron yaa???” sinis Alvin tajam.

Rio mengepalkan tangannya kuat-kuat menahan emosi.

“saya punya cara yang lebih terhormat buat ngelurusin semuanya, bapak ketua OSIS!”

“ga usah banyak basa-basi! Cepet bilang, apa yang lo mau!!” sahut Rio yang sudah dalam keadaan benar-benar emosi. Jika ia tidak ingat ada orang lain di dalam kelas itu yang kini sudah mempertontonkan mereka, sudah ia ‘beri’ laki-laki brengsek di hadapannya ini.

“gue tunggu lo besok di lapangan basket! Jam delapan! Gue tantang lo buat tanding basket!!”

Rio tertawa miring, meremehkan.

“elo, nantangin gue tanding basket??? YAKIN???”

“kita liat aja nanti!”

“oke oke. Gue terima tantangan lo itu! Siap-siap buat kalah, Tuan Alvin Jonathan!”

Alvin mengangkat kedua alisnya sambil tersenyum.

“siapa takut! BAPAK KETUA OSIS YANG TERHORMAT!”

Dan mereka kembali saling menatap dengan sengitnya. Ingin saling menunjukan kekuatan yang mereka punya! Ingin semua orang tau bahwa merekalah yang terbaik. Dan ingin menujukan, bahwa mereka kini bukan lagi kawan yang selalu bersama seperi dulu, melainkan lawan, yang akan selalu menunjukan kekuatan diri masing-masing.

Sebenarnya, Alvin tidak ingin hubungan persahabatan yang telah mereka bangun dan jalin bersama itu, hacur seketika karena masalah itu. Tapi bagaimana lagi!? ia sudah mencoba menenggelamkan masalah itu dalam-dalam. Namun Rio kembali mengangkat masalah itu kembali ke permukaan. Dan malah sekarang semakin sengit.

Ia menantang Rio bermain basket, bukan karena ingin bersaing dengan sahabatnya yang sesungguhnya masih sangat ia sayangi itu. Ia hanya ingin menunjukan pada Rio, bagaimana laki-laki sesungguhnya. Bertanding secara fare di lapangan. Itu sepertinya lebih baik dari pada, menusuknya dari belakang, dengan cara curang seperti itu.
***

Sorak riuh para murid yang kebanyakan siswi itu menggelegar di seluruh lapangan basket indoor itu. Semua bersorak sorai dengan gilanya.

Tapi tidak untuk kedua siswi itu. Mereka berdua malah termenung memikirkan bagaimana kelanjutan dari ini semua.

Dari tempat mereka sekarang, mereka dapat melihat bagaimana dua laki-laki yang tak lain dan tak bukan adalah kekasih dari mereka sendiri, sedang mempersiapkan diri untuk bertanding one on one di lapangan.

Ify, terlihat sangat khawatir sekali. Bagaimana tidak? Tangannya Rio ka sedang terluka, tapi engapa ia nekat bertanding basket seperti ini? Rio ini apa-apaan sih??!!

Sebenarnya pertandingan ini tidak ada juntrungannya. Untuk apa mereka bertnding seperti ini? Memang, jika salah satu dari mareka menang, apa yang akan mereka dapatkan?

“Fy, gelisah banget gitu? Kenapa?”

“ka Rio tuh oneng baget tau gak Ik! Liat tuh tangannya! Entar kalo ada apa-apa sama tangannya gimana? Ga mikir nih kak Rio!!!” gerutu Ify.

“yaudah, lo tenang aja ya? Kak Rio gak bakalan kenapa-napa.”

“semoga aja gitu deh…”
***

Kedua lelaki itu sedang melakukan pemanasan. Mereka akan segera bertanding pada sebuah pertandingan yang sama sekali tidak jelas arah da tujuannya.

Rio menerima tantangan Alvin kemarin hanya ingin mempertahankan gengsi. Jadi sebenarnya pertandingan ini hanya untuk mempertahankan gengsi satu sama lain. Juga ingin saling menunjukkan mana dan siapa yang lebih hebat. Benar-benar anak muda jaman sekarang!

Gabriel yang bertidak sebagai wasit, meniupkan pluitnya dua kali. Pertanda pertandingan sebentar lagi akan segera dimulai. Alvin dan Riopun yang sudah mempersiapkan semuanya matang-matang, berjalan menuju ke tengah lapangan untuk memulai pertandingan ini.

Mereka berdiri berhadapan dan saling mentapa dengan sengitnya. Dari pancaran mata mereka, terpancar tatapan ingin saling mengalahkan satu sama lain hari ini.

Gabriel berdiri di tengah mereka sambil mengangkat bolanya sebatas dada. Setelah berhitung sampai tiga dan pluit kembali ditiupkan, pertandinganpun akhirnya dimulai dengan sengit.

Keduanya saling menunjunkan kemampuan dan mengerahkan kekuatan mereka semaksimal mungkin. Mereka terus bertanding. Saling memperebutkan satu bola itu untuk sama-sama mencetak angka yang lebih tinggi dari yang lainnya.

Sedangkan di bangku penonton, semua sudah berteriak-teriak heboh. Sebagian besar mendukung Rio. Karena mereka lebih memihak pada Rio. Memang dasar orang-orang sotoy! Engga tau apa-apa main ngecap Alvin kayak gitu!

Ify sudah sangat gelisah menonton pertandingan itu. Apalagi, matanya menangkap ada sebercak darah di tangannya. Pasti lukanya yang belum kering itu, kembali terbuka. Dasar Rio, emang nekat!

Oik masih menepuk-nepuk pndak Ify, begitu juga dengan Shilla. Mereka mencoba menenangkan Ify. Menyuruh Ify untuk percaya pada Rio bahwa Rio pasti kuat dan pasti bisa.

“udah Fy, ga usah panik gitu!”

“iya, tapi Ik, Shill, tangannya kak Rio itu berdarah. Pastikan dia mulai kesakitan! Aah, kak Rio emang bener-bener deh!”

“tenang. Lo harus yakin, kalo kak Rio itu pasti bisa!”

“iya Fy! Kak Rio itu kuat kok!”

Tiba-tiba Cakka datang menepuk pundak Oik. Oikpun menoleh pada Cakka.

“kkk..kak Cakka…” Oik tersentak melihat Cakka. Ia menjadi merasa canggung dengan Cakka sejak mendengar ucapan Cakka di perpustakaan kemarin.

“Ik…”

“i..iya??”

“gue mau tanya sesuatu sama lo!”

“a..apa???”

“em, itu. Gimana jawaban lo buat yang kemarin.”

Oik tersentak kaget dan menunduk. Aduh, kenapa Cakka menagih jawaban pada Oik. Apa yang harus Oik jawab?

“em,, yang mana ya kak???” alibi Oik. Siapa tau ia bisa menghidari topik ini.

“yang kemarin di perpustakaan.”

“yang mana?”

“yang tentang pengakuan gue!”

“pengakuan apa?”

Cakka menepuk jidatnya! Aduh, ini cewek pura-pura bego apa bego beneran sih?? Masa iya, baru kemarin saja sudah lupa!

“gue suka sama lo!”

Oik menggigit bibir bawahnya. Apa iya, ia masih bisa mengelak sekarang? Apa yang harus Oik jawab?

“em, itu ya kak??? Emang itu beneran???”

“iya, gue beneran!”

“em… essh, itu…”

Cakka menaikan satu alisnya. Berharap ia akan mendapatkan jawaban yang memusakan dari Oik.

Oik masih bingung mau menjawab apa. Sesungguhnya, ia tidak mengira bahwa apa yang Cakka ucapkan kemarin itu ternyata serius. Jadi apa yang harus Oik katakan sekarang.

Ia melihat ke arah Shilla dan masihh serius memperhatikan pertandingan. Berharap dapat menemukan jawaban yag tepat. Sesaat sebelum semua berteriak. Mengagetkannya. Ia pun menoleh ke arah lapangan.

“RIOOOO !!!”

“KAK RIOOOO !!”

Bersambung……

Author: Amel^^
Facebook: Amelia Astri Riskaputri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar