Rabu, 11 Januari 2012

The Power Of Love *Part 22* (Repost)

The Power Of Love *Part 22*

Malam sudah sangat larut. Suasana semakin sepi, udara semakin dingin. Namun pemuda ini masih tetap terjaga. Ia berdiri di depan balkon kamarnya. Menatap langit malam, yang malam ini kosong tanpa bintang. Rasanya sangat hambar sekali.

Sampai saat ini, perasaannya masih belum tenang. Ia masih memikirkan kejadian di acara tadi. Bisa-bisanya ia melakukannya. Ada apa dengan otaknya? Sudah tidak waraskah ia?

Ia telah menyakiti kekasihnya. Ia membuat kekasihnya menagis tadi. Ia membuat sahabatnya membenci dirinya. Ia membuat semua orang berfikiran buruk terhadapnya. Ia membuat namanya sendiri jadi tercemar. Ia membuat segalanya jadi tak karuan.

Sama seperti hatinya yang kini masih tak karuan. Lihat saja penampilannya! Kucel. Tidak gagah seperti biasanya. Wajahnya kusut, penuh dengan luka lebam, terutama dibagian pipinya. Rambutnya apalagi. Pakaian bekas pesta tadi, masih melekat ditubuhnya. Namun sudah tidak seperti ketika ia akan menghadiri acara itu.

Bagaiamana ini? Semua orang pasti membencinya sekarang!

Seseorang mengagetkannya dengan mengetuk pintu kamarnya. Meski pelan, ia tetap saja terkejut.

“masuk!’ serunya.

Terdengar pintu dibuka. Dan terdengar pula langkah mendekat ke arahnya.

“kak!”

Pemuda itu berbalik melihat siapa yang sudah malam seperti ini, masih saja keluyuran keluar kamar.

“lo belom tidur?” tanyanya datar, memandang lurus ke depan.

“belom. Aku daritadi kepikiran kaka terus. Aku ga tenang. Itu lukanya, Oik obatin ya?” Oik menunjuk luka di pipi Alvin.

Alvin menoleh sekilas, lalu kembali menatap ke luar.

Oik mengambil kotak P3K yang berada di dalam laci meja Alvin. Lalu kembali menghampiri Alvin. Ia mengeluarkan kapas dan alkohol dari dalam kotak itu. Setelah di totol-totolkan (??) ke kapas, Oik membersihkan darah yang masih menempel di tepi bibir Alvin.

“ka Alvin tadi kenapa? Kok bisa ngelakuin hal kaya gitu sih ka?” tanya Oik memecah kesunyian yang menyelimuti mereka. Sekalian juga karena ia penasaran, atas alasan apa Alvin melakukannya tadi.

Alvin yang ditanya seperti itu, langsung menoleh ke Oik. Menatapnya lirih. Lalu menunduk. Ia sendiri bahkan tidak tau apa jawaban yang tepat untuk pertanyaan tadi. Karena sesungguhnya, ia tidak ada niatan sedikitpun untuk melakukannya.

Oik menurunkan tangannya dari wajah Alvin. Lalu mengeluarkan obat merah , dan kembali menotolkannya ke kapas yang baru. Ia masih menunggu Alvin berbicara untuk menjelaskan.

Setelah 10 menit terdiam, memikirkan jawaban apa yang harus ia berikan kepada Oik, akhirnya ia buka suara.

“gue juga engga tau Ik. Tadi tuh, gue panik ngeliat Ify kecebur trus pingsan.”

“kaka suka sama Ify?” tanya Oik, kembali mengobati luka Alvin.

Dengan cepat Alvin menggeleng. “engga, gue ga suka sama dia! sumpah!” jawab Alvin antusias.

“terus kakak kenapa? Kaka tau ga sih? Perbuatan kaka tadi itu salah kak!”

Alvin menghela nafas panjang. Sedikit frustasi akan masalahnya kali ini. Sungguh ini sangat rumit. Ia saja tidak tau bagaimana caranya ia mengahadapi Rio besok di sekolah. Ia tau pasti, semua akan berubah besok. Arrrgh, benar-benar memusingkan!

“gue tau Ik! Gue juga ga tau kenapa gue tadi tiba-tiba ngelakuin itu! Gue aja kaget banget.”

Oik hanya geleng-geleng kepala mendengarkan penjelasan Alvin. Alvin seperti orang yang linglung. Bingung akan perbuatannya sendiri.

“mendingan kaka istirahat aja deh. Kaka tuh udah kacau banget tau gak!?”

Alvin mengangguk. “iya, thanks ya Ik.”

“Oik keluar ya kak?”

Alvin kembali mengangguk.

Setelah membereskan kotak obat itu, Oik keluar dari kamar Alvin. Alvinpun kembali ke dalam kamarnya, dan berbaring di atas tempat tidurnya. Kembali memikirkan, apa yang sebenarnya ada di pikirannya tadi? Sampai-sampai ia melakukannya? Bagaimana caranya ia minta maaf pada Rio, Shilla, Ify? Aaaah, ini benar-benar rumit!
***

Keesokan harinya, di sekolah.

Empatpuluh lima menit sebelum bel masuk berbunyi, Alvin telah tiba di dalam kelasnya. Entah untuk alasan apa ia datang pagi sekali seperti ini.

Ia berjalan keluar kelas. Mencari udara segar pagi hari yang jarang sekali ia rasakan. Ia berdiri di depan tembok yang ada di depan kelasnya. Menghirup udara dalam-dalam sambil memejamkan matanya. Berharap segalanya akan baik-baik saja hari ini. Berharap, bahwa hari ini, tidak akan menjadi hari terburuknya. Dan perlahan, ia kembali menghembuskannya, dan kembali membuka matanya.

Ia memperhatikan keadaan sekitar lapangan. Masih benar-benar sepi. Mungkin hanya ada ia dan penjaga-penjaga sekolah di sana. Matanya masih terus menelurusi setiap penjuru sekolah yang dapat dijangkau oleh matanya. Dan tiba-tiba matanya berhenti pada satu titik. Pada seorang gadis manis berambut panjang yang sedang berjalan masuk dari dalam gerbang.

Alvin langsung berlari menuruni tangga. Dan menghampiri gadis itu.

“SHILLA !!” teriaknya.

Shilla, si gadis yang dipanggil Alvin itu, berhenti melangkah, sesaat ketika mendengar namanya diserukan oleh seseorang. Ia tak menoleh. Ia tau pasti siapa pemilik suara itu.

Merasa langkah kaki itu semakin mendekatinya, ia segera melanjutkan kembali jalannya Dengan langkah besar-besar. Ia, masih tak mau bertemu dengan Alvin.

Alvin terus berlari mengejar Shilla, hingga ia mampu menarik tangan gadis itu. Dan membuat langkah Shilla terhenti.

“Shill, aku…”

Belum selesai Alvin berbicara, mencoba menjelaskan, Shilla sudah memotongnya sambil menampik tangannya dari genggaman Alvin.

“LEPAS !! gue ga mau denger apa-apa dari  lo!” bentak Shilla.

“Shill…”

Shilla langsung saja meninggalkan Alvin sendiri. Berlari menjauhi Alvin. Hatinya masih sangat sakit. Alvin, membuatnya sangat kecewa. Sudah tak ada air mata lagi untuk menangisinya. Ia sudah lelah menangis semalaman. Menangisi kelakuan kekasihnya, yang benar-benar sangat tak pantas.

Alvin memperhatikan Shilla yang semakin menjauh dan akhirnya hilang, ketika ia masuk ke dalam kelasnya.

Ia menghela nafas kuat-kuat. Ia tau, ini pasti akan sangat sulit. Tak akan mudah mendapatkan permintaan maaf dari sang gadis. Ia tau pasti, ia sudah sangat keterlaluan. Ia sudah menyakiti hati gadisnya itu. Ia rela dihukum apa saja. Namun sepertinya, hukuman terberatpun tak mampu mengobati luka hati Shilla.
***

MUUUUACH

Setelah mendaratkan sebuah kecupan dikening sang gadis, ia tersenyum pada gadis itu, dan izin pergi ke kelasnya. Sang gadispun tersenyum dan melambaikan tangannya. Setelah kekasihnya tak terlihat lagi, iapun masuk ke dalam kelasnya.

“pagi…” sapanya ceria seperti biasa dan tersenyum pada tiga temannya itu.

“pagi Fy…” jawab Oik. Diikuti dengan senyum dari Nadya dan Shilla.

“Shill, mata lo sembab? Elo kenapa?” taya Ify yang sedikit curiga melihat mata Shilla yang benar-benar besar dan bengkak, serta ada bulatan hitam di bawah matanya, yang menandakan bahwa ia habis menangis semalaman.

Shilla hanya tersenyum tipis dan menggeleng lemah. “engga apa-apa”. Berusaha bersikap sebiasa mungkin. Biarlah Ify tak mengetahuinya. Mungkin itu akan menjadi lebih baik.

Ify mengangguk, meski ia masih curiga. Shilla tidak pernah seperti ini biasanya. Namun, ia berusaha acuh dengan hal itu. Mungkin memang itu urusan pribadinya Shilla. Pikirnya.
***

Selesai upacara bendera yang rutin dilaksanakan setiap hari Senin, semua murid bukannya masuk kelas, tapi malah berhamburan ke kantin. Membeli minuman untuk melepas dahaga. Setelah selama kurang lebih 40menit berdiri di tengah lapangan.

Tak terkecuali dengan Ify dan teman-temannya. Mereka semua juga menuju ke kantin. Berhambur bersama para murid lainnya.

Saat sedang memilih-milih jajanan apa yang akan dibeli, sebuah tangan menggegam tangan Shilla. Lalu menariknya keluar dari kerumunan murid-murid lainnya.

“eh, apaan sih!? Lepasin ah!” ronta Shilla.

Namun si pemilik tangan tak menghiraukannya. Ia terus saja menarik tangan Shilla. Membawa Shilla ke tempat yang lebih sepi.

Ify yang menyadari Shilla tiba-tiba menghilang entah ke mana, langsung celingak-celinguk mencari sosok Shilla. Hingga keluar kantin. Aneh, padahal, ini bukan hal penting. Tapi mengapa hatinya menyuruhnya untuk terus mengikuti kakinya melangkah.

Sampai saat ia tiba di taman sekolah yang jika sedang jam pelajaran akan selalu sepi. Namun kali ini, ia mendengar isak tangis seorang gadis di sana. Dan suara seorang laki-laki yang sepertinya sedang menjelaskan sesuatu. Ify memilih untuk mengintip dari balik pohon. Mendengarkan dengan seksama percakapan yang terjadi diantara kedua murid itu.

“aku minta maaf Shil! Aku bener-bener ga tau kemaren itu aku kenapa!” Alvin masih mencoba menjelaskan pada Shilla. Meskipun, Shilla tak mungkin mau menerima alasan ‘engga tau kenapa’ darinya, tapi ia terus berusaha.

Ify masih terus mendengarkan dengan lebih seksama lagi. entah mengapa namun sepertinya ia akan mengetahui sebuah rahasia dari percakapan mereka itu. Hatinya berkata demikian.

“hey, anda fikir saya ini bodoh?! Mau nerima alasan anda yang sangat tidak masuk akal kalau menurut saya! Anda tidak tau mengapa anda bisa melakukannya kemarin? Begitu maksud anda? Ada pikir saya tidak punya otak! Percaya dengan alasan tidak berbobot kaya gitu!” Shilla tertawa miring, meremehkan. Aneh aneh saja pemuda ini. Ia yang melakukan, ia juga yang bingung mengapa ia melakukannya. Siapa yang mau mempercayai alasan macam itu.

“beneran Shilla. Kemaren aku ga tau, kenapa aku bisa ngelakuin itu. Tapi beneran, aku ga ada maksud apa-apa.”

“ada maksud apa-apa juga bodo amat!”

Alvin menghela nafas panjang. Ia bingung bagaimana lagi harus menjelaskan pada gadis ini. Karena ia sendiripun tidak tau mengapa ia melakukannya. Ia sendiri masih bingung jika ditanya ‘kenapa sih kemarin ngelakuin itu?’ ia harus menjawab apa. Karna memang tidak alasan yang kuat untuk hal itu.

Ify masih mendengarkan. Ia makin bingung. Kemarin kemarin perasaan Alvin sama Shilla masih baik-baik saja kan? Mengapa mereka berdua sekarang jadi berantem gini? Ia jelas-jelas ingat, Alvin dan Shilla masih bergandengan tangan di pesta itu sebelum ia pingsan.

Ha? Sebelum ia pingsan? Jangan-jangan telah terjadi sesuatu saat ia sedang tak sadarkan diri malam itu? Mengingat kemarin saat ia tersadar, suasana sangat tegang langsung terasa olehnya. Ditambah lagi sikap Rio di mobil, yang seperti menahan emosi itu. Jadi sebenarnya, apa yang telah terjadi ketika ia sedang dalam keadaan tak sadarkan diri malam kemarin?

“ngapain sih? Anda telah membuang waktu saya!” ucap Shilla sambil melihat jam tangannya. Ia segera menghapus sisa air matanya, dan pergi dari sana. Meninggkalkan Alvin sendiri.

“aaargh! Sial!” Alvin menendang kursi yang ada di hadapannya. Meluapkan segaala emosinya. Ia benar-benar bingung sekarang! Apa sih penyebab dari kejadian kemarin itu? Mengapa ia bisa melakukannya? Tuhan, jawab pertanyaannya! Ia benar-benar bingung!

Setelah Shilla sudah tak terlihat lagi, ia menghampiri Alvin yang sedang berdiri dalam keadaan emosi. Sebenarnya ia sedikit takut melihat raut wajah Alvin yang sudah merah padam itu. Namun karena didorong oleh rasa penasarannya yang sangat besar, akhirnya ia memberanikan diri menghampiri Alvin. Lagian juga, memangnya apa yang akan Alvin lakukan terhadapnya?

“kak!”

Alvin yang mendengar ia dipanggil, langsung menoleh ke belakangnya. Sedikit tersentak saat melihat bahwa Ifylah yang memanggilnya. Namun ia usahakan untuk bersikap biasa saja.

“eh, Ify. Kenapa?”

“kak. Elo sama Shilla kenapa?”

“ha? Elo denger??”

“sori kak! Gue ga bermaksud buat nguping. Gue Cuma bingung aja. Kemaren itu, ada kejadian apa sih di pesta ka Zeva? Kenapa tiba-tiba semua pada musuhan??”

“kan elo didorong sama Zeva ke kolam.”

“setelah itu?”

DEG! Ia bingung akan menjawab apa. Bagaimana ini? Apa ia harus jujur pada Ify? Aaaah, apa yang harus ia katakan?

Alvin menunduk. Ia memperhatikan rumput yang sedang diinjaknya. Berharap dapt menemukan jawaban yangtepat di sana. Walaupun itu sangat tidak mungkin. Ia bingung harus menjawab apa. Apakah ia harus menceritakannya pada Ify?

“kak? Kok diem? Benerkan pasti ada sesuatu yang terjadi nih pas gue lagi pingsan!” Ify  menatap Alvin. Menyipitkan matanya, curiga. Mengapa Alvin tak langsung mejawab? Ia semakin dibuat penasaran saja!

“em… emang Rio ga cerita?” tanya Alvin mencoba berbasa-basi.

Ify menggeleng. “emang kenapa sih kak!? Ayo dong kasih tau guee! Gue bener-bener penasaran nih!”

Tiba-tiba saja, Alvin menarik Ify, memeluknya. Memeluknya dengan kencang. Merasa sangat bersalah.

“Fy, gue bener-bener minta maaf. Gue engga bermaksud buat…”

“buat ngerebut Ify dari gue!” ucap seseorang dengan sinisnya. Spontan Alvin melepaskan pelukannya dan Ify menoleh ke asal suara.

Si pemilik suara itu, melangkah menghampiri Ify dan Alvin.

“ELO! Masih berani juga ya lo ternyata!!!” ia kembali berucap dengan tajamnya sambil menatapnya dengan tatapan yang lebih menusuk dari 1000 pedang. Lalu menarik paksa kerah seragam Alvin.

“kak Rio!” teriak Ify kaget.

“diem Fy! Kamu ga usah bela dia! dia ini BRENGSEK!”

“kak Rio, apa-apaan sih!? Udah kak!!” Ify berusaha melepaskan tangan Rio yang menarik kerah baju Alvin. Alvin yang diperlakukan seperti itu, hanya diam tak melakukan apapun. Ia sudah pasrah jika Rio mau kembali menghajarnya. Karena ia tau, ini memang salahnya.

“aku bilang kamu ga usah bela dia!!! kamu ga taukan apa yang udah dia lakuin kemaren!? Iya kan!???”

“emang kak Alvin kemaren ngapain???”

“dia ! dia bukan temen aku lagi!” tegas Rio.

“kenapa ka??”

“dia…”

BUUUUKKK
Satu pukulan melayang dipipi kiri Alvin. Membuat darah kembali menetes dari tepi bibirnya.

“kak Rio! Udah dong! Jangan kasar kaya gitu!” Ify menahan tangan Rio.

“dia ini Fy, emang pantes di kasih pelajaran kaya gini!”

“kak!”

BUUUUK
Satu lagi pukulan kencang mendarat di pipi Alvin. Alvin yang sudah terpojokan masih tetap saja pasrah. Ia tau diri. Ia memang sangat pantas menerimanya.

“biarin Fy! Biarin! Gue emang salah! Gue emang brengsek! Gue emang pantes dikasih pelajaran! Gue emang keterlaluan!” ucap Alvin pasrah.

“tapi kak…”

BUUUUK

Belum selesai Ify bicara, Rio sudah kembali melayangkan tinjunya ke pipi Alvin.

“KAK RIO! Udah!” teriak Ify.

“kamu tau Fy, dia semalem, ngasih kamu nafas buatan!” tegas Rio. Membuat Ify menganga kaget. DEG! Benarkah?

Alvinpun sudah pasrah dengan kemungkinan yang akan terjadi. Ify pasti akan membencinya juga. Mungkin memang Alvin ditakdirkan untuk tidak mempunyai teman di dunia ini.

“kak… bener apa yang dibilang sama kak Rio???” tanya Ify pada Alvin. Alvin menunduk. Bingung harus menjawab apa.

“ka Alvin jawab!” paksa Ify sambil mengguncang lengan Alvin.

Perlahan Alvin mengangguk, mengakui perbuatannya. Ia siap menerima hukuman apapun akan itu.

Ify menggeleng-geleng tak percaya. Ia menatap Alvin dengan tatapan tak terbaca. Kecewa, kaget, marah, namun iba. Jadi, ini alasan kemarin keadaan sangat tegang terjadi? Jadi karena ini, Rio terlihat sangat emosi di mobil? Jadi karena ini juga, Shilla sampai marah sekali dengan Alvin? Jadi ini jawabannya.

Ify menarik nafas kuat-kuat. Mencoba menstabilkan kembali emosinya. Lalu perlahan melangkah maju medekati Alvin. Mengangkat tangannya dan…

PLAAAAK

Sudah ditonjok di tampar pula. Perih sekali rasanya pasti. Itulah yang Alvin dapatkan. Ify melayagkan tamparannya ke pipi Alvin yang sudah memar dan berdarah.

“gue kecewa sama lo kak!” lirih Ify.

“maaf. Maafin gue Fy! Gue… khilaf.” Ucap Alvin sangat menyesal. Seandainya kemarin ia bisa mengontrol dirinya, pasti tidak akan seperti ini jadinya.

“khilaf? Cih!” ledek Rio sambil tertawa miring. “bilang aja kalo lo mau nyari kesempatan dalam kesempitan!?” lanjutnya lagi, meremehkan.

“kak! Udah dong! Iya, kak Alvin salah! Salah banget! Tapi kaka juga ga usah mojokin kak Alvin terus!” ucap Ify pada Rio.

“Tapi sumpah kak, gue kecewa sama lo! Lo kenapa kak Alvin!? Lo bikin Shilla nangis kak! Lo udah bikin semua jadi kecewa sama lo! Gue ga nyangka kak, ternyata pikiran lo sedangkal itu!” kali ini Ify mengalihkan pandangannya ke Alvin dan berbicara pda Alvin. Alvin menunduk menyesal.

“mendingan sekarang elo pergi dari hadapan gue! Gue udah muak liat tampang nyesel lo!” suruh Rio.

Alvin berdiri, menatap Rio lirih. Berharap Rio bisa sedikit mengeti dan memaafkannya. Meskipun itu takkan mungkin terjadi.

Rio menatapnya dengan tajam. Rasa sayang sebagai sahabat yang dulu dirasakannya untuk Alvin, kini telah menghilang digantikan oleh rasa benci yang teramat sangat. Ia masih tidak habis fikir akan apa yang dilakukan Alvin kemarin. Apa pantas ia melakukannya di depan dirinya, dan kekasihnya?? Bahkan di belakangnyapun itu sangat tidak pantas!

“gue minta maaf. Gue bener-bener minta maaf atas kelakuan gue yang rendah banget kemaren!” ujar Alvin kembali pasrah.

“bagus deh kalo nyadar.”

“ya, gue sadar kok. Gue emang salah. Gue emang brengsek. Elo boleh hukum gue apa aja. Gue terima. Makasih, gue pergi!”

Setelah itu, Alvin melangkah pergi dari sana. Membawa segala kepedihan hatinya ikut bersamanya. Tak ingin orang lain merasakannya. Atau memang tidak ada yang bisa merasakannya. Karena duniapun menyalahkannya atas hal ini. Ia tau memang ia yang salah dalam kejadian ini. Ia benar-benar salah.

Tapi tak adakah satupun yang mengerti dirinya? Pada siapa ia harus berbagi cerita? Sahabat-sahabatnyapun sudah tidak memperdulikannya lagi. ia serasa hidup sendiri di dunia ini sekarang.
***

Setelah Alvin pergi, Rio langsung menarik  Ify ke dalam pelukannya. Takut. Takut jika ia akan kehilangan Ify, takut, Ify akan meninggalkannya.

“jangan tinggalin aku…” lirih Rio.

Ify mengusap-usap punggung Rio, seraya membalas pelukan Rio dan mencoba menyalurkan sedikit kesabaran yang ia punya untuk Rio, agar emosinya kembali stabil seperti biasa.

“ga akan kak!” jawab ify.

“aku ga mau kehilangan kamu!”

“aku juga! Dan aku ga akan pernah pergi ninggalin kamu!”

Rio mengeratkan pelukannya. Tak ingin melepasnya. Sama seperti perasaannya yang tak mau melepaskan Ify. Ia tidak rela Ify jatuh ke pelukan lelaki manapun. Tidak akan pernah rela.

Ify harus dan akan tetap menjadi miliknya selamanya. Ia janji dalam hatinya sendiri, ia akan melakukan apapun untuk memeprtahankan Ify agar tetap dalam peluknya. Ia tidak akan pernah melepaskannya sedikitpun. Ia tidak akan jengah menjaga Ify. Ia akan terus memantau Ify.


Bukan, bukan ingin membuat Ify terpenjara. Ia haya tidak mau kehilangan Ify. Ya, hanya itu. Biarlah ia membiarkan keegoisannya menang. Karena, sampai kapanpun, ia tak akan pernah rela melepas Ify, melihat Ify bahagia, dengan laki-laki lain. Tidak akan pernah rela!
***

Gadis itu terus saja melangkah. Meski langit sudah berwarna hitam pekat, dan matahari tak lagi bersinar, ia tetap saja terus berjalan. Ia baru saja pulang dari sebuah toko buku yang terdapat di salah satu mall terbesar di ibu kota. Tadi ia sudah menelpon supirnya, tetapi supirnya sudah pulang. Apa daya, ia jadi harus pulang sendiri.

Waktu memang baru menunjuk pada angka diantara 6 dan 7 untuk jarum pendek. Tetapi keadaan di sekitar jalanan sana, sudah sangat sepi. Membuatnya merasa merinding. Tetapi ia coba tepis kuat-kuat perasaan itu. Ia tau, Allah menjaganya dari atas sana. (asik dah gue bawa-bawa Allah)

Tetapi semakin jauh berjalan, perasaan takut itu semakin kuat dirasakannya. Bulu kuduknya berdiri pertanda ia sangat merinding. Suara-suara malam yang menyeramkan menyapa tajam telinganya. Membuat degup jantungnya semakin tak beraturan. Keringat dingin mengucur deras dipelipisnya. Iapun berjalan semakin cepat sambil berkomat-kamit tak jelas.

Hingga pada saat ditikungan jalan, yang akan memasuki daerah jalan raya, berkumpul beberapa preman yang sepertinya sedang bermain judi atau entahlah sedang apa. Saat gadis manis itu berjalan, melewati sekumpulan preman itu, bulu kuduknya yang tadi sudah turun jadi naik lagi. ditambah lagi, ketika salah satu dari mereka mulai menggodanya.

“eh neng manis. Namanya siapa sendirian aja malem-malem begini.” Goda si preman seraya menghampiri Oik.

Oik yang digodain, terpaksa menghentikan langkahnya ketika si preman itu, berhenti di hadapannya.

“minggir saya mau lewat!” suruh Oik.

Tetapi si preman tadi, bukannya menyingkir, malah melangkah semakin mendekati Oik. Membuat Oik mundur beberapa langkah menjauhi si preman.

“aduh neng cantik, jangan jauh-jauh dong dari abang. Sini, kita bersenang-senang berdua malem ini!” si preman itu kembali menggoda. Kali ini diikuti dengan tangannya yang berusaha bergerak untuk mencolek dagu dan lengan Oik.

Oik semakin ketakutan dibuatnya. ia mencoba menghindar dari tangan liar preman itu yang berkali-kali mencoba untuk menyentuhnya. Tetapi memang dasar namanya preman, tetap saja gencar mendekati Oik.

“jangan ganggu saya.” Ucap Oik berusaha untuk galak dan tegas.

“haha…” tawa preman itu dan teman-temannya mendengar permintaan Oik, yang sampai kapanpun tak akan dikabulkan oleh preman itu.

“aduh neng, ga usah takut. Abang ga bakalan ngapa-ngapain eneng kok. Palingan Cuma dicoba aja. Haha…”

Oik menggeleng-gelengkan kepalanya. Keringatnya mengucur semaki deras. Jantungnya berdegup semakin tak karuan.

Preman-preman yang lainnyapun ikut menghampiri Oik. Dengan senyuman-senyuman nakal, mereka terus menggoda Oik. Lalu dua diantara mereka, memegang tangan Oik.

Oik yang kaget tangannya dipegang langsung meronta minta dilepaskan. Airmatanyapun mengucur bersamaan dengan rasa takutnya.

“tolong lepasin! Lepasin!!” Oik menggerak-gerakan badannya agar terlepas dari guncatan preman-preman itu. Namun tetap saja ia hanya seorang gadis yang lemah, yang kekuatannya tak mampu melebihi preman-preman ini. Membuat preman-preman itu tertawa puas.

“haha, elo ga akan bisa ke mana-mana.”

“elo milik kita sekarang!” goda seorang preman sambil mencolek dagu Oik.

“LEPASINN!! TOLONG TOLONG!!” Oik berusaha berteriak meminta tolong, dan masih tetap berusaha melepaskan diri dari preman-preman itu.

“elo teriak-teriak di sini, juga ga bakalan pernah ada yang bakalan nolong! Ini jalan tuh sepi banget! Haha”

“LEPASIN !!” teriak Oik.

Namun para preman itu sepertinya sudah dirasuki oleh setan. Salah satu dari preman itu, mendekati Oik dan mencoba menyentuhnya. Namun dengan kekuatan yang masih tersisa, Oik berusaha menjauh dari tangan itu. Ia menangis sejadi-jadinya.

“aduh neng, ga usah malu-malu deh sama abang.”

“udah men, langsung aja. Sikat!” ucap temannya.

Preman itu, langsung mencengkram kemeja Oik. Oikpun menangis semakin kejer. Ia masih berusaha meronta agar terlepas dari preman-preman brengsek ini.

“TOLONG!!!” teriaknya. Berharap ada sesosok malaikat yag datag untuk menolongnya dari para preman brengsek ini.
***

Cakka mengendarai mobilnya dengan kecepatan yang biasa-biasa saja. Tak terlalu kencang, namun juga tidak terlalu lama. Ia baru saja selesai membeli makanan untuk makan malamnya malam ini.

Wahai insan yang di sana
Mungkin saja ini kau dengar
Melewati semesta ini aku sampaikan
Begitu ingin membagi batin
Mendengarkan hasrat di jiwa
Oh Tuhan pertemukan aku
Sebelum hatinya beku

Lantunan nada indah serta suara merdu Randy Pangalila, menemaninya selama perjalanan. Melepaskan kesunyian yang tercipta di dalam sana, dengan lagu tersebut. Sambil ikut bersenandung kecil, ia terus mengendarai mobilnya. Masih dengan kecepatan yang kurang dari 50 km/jam.

Ia masih santai santai saja, memperhatikan jalanan malam yang sepi. Seperti semua penghuni bumi ini lenyap entah ke mana. Ditambah lagi oleh jalanan yang benar-benar gelap gulita. Bulanpun enggan menampakan cahayanya malam ini. Bintang bersembunyi entah di mana. Membuat malam ini benar-benar suram, pikirnya.

Sampai di tikungan jalan raya, ia semakin melambatkan laju mobilnya. Karena melihat ada kerumunan orang di sana. Ia Memperhatikan dengan seksama, kerumunan orang di pinggir jalan sedang melakukan apa. Setelah dicermati baik-baik, ternyata ada seorang gadis yang tengah menagis sedang dalam gencatan preman-preman brengsek itu.  Sebagai seorang cowo sejati yang punya hati, akhirnya iapun menghentikan mobilnya. Dan keluar menghampiri orang-orang itu.

“TOLONG!!!”

“WOY!!” teriak Cakka lantang, membuat orang-orang yang sedang berkerumun itu menoleh ke arahnya.

“eh, ada orang yang mau sok jadi pahlawan kesiangan.” Kata seorang preman meremehkan.

“lepasin dia, atau lo semua mati!” ancam Cakka sambil menggerakan tangannya dari kiri ke kanan, menunjuk preman-preman itu.

“cih, dasar anak ingusan aja, mau ngancem gua lu!”

“lepasin!”

Sedangkan si gadis yang masih di jaga oleh dua orag preman itu menatap Cakka dengan tatapan memohon, meminta pertolongan, untuk membebaskannya dari para preman-preman ini.

Melihatnya, Cakka manjadi sangat iba dengan gadis itu. Apalagi dengan keadaan Oik yang sudah tak karuan lagi. akhirnya ia beranikan mendekati preman-preman itu.

“eh eh, mau cepet mati nih anak ternyata!”

“udah bos, hajar!”

Dengan sekali sentakan tangannya yang meninju perut Cakka, Cakkapun akhirnya jatuh telungkup. Namun, ia masih kuat, dan akhirnya bangun lagi, menyerang si preman yang tadi berani menonjoknya.

BUGH

Satu sama untuk Cakka. Si preman tadi jatuh tersungkur akibat pukulan yang dilayangkan Cakka.

“sialan nih bocah! Berani dia sama gue!”

Tanpa menunggu waktu lama, Cakka dan preman itu sudah terlibat baku hantam. Beberapa kali Cakka terkena pukulan, namun beberapa kali pula Cakka mampu melumpuhkan pergerakan si preman itu.

“kak, hati-hati!” teriak Oik ngeri. Takut, takut terjadi sesuatu dengan Cakka. Ia ingin sekali membantu Cakka melawan preman itu. Mungkin dngan cara melemparkan sebuah balok kayu ke kepala si preman itu. Namun apa daya, tangannya masih di cengkram kuat oleh preman lainnya. Akhirnya, ia hanya mampu membantu Cakka dengan doa agar Cakka baik-baik saja.

BUGH

Pukulan terakhir dari Cakka, yang membuat si preman itu kini mabok keleyengan. Bahkan sudah tak mampu lagi untuk berdiri. Darah berceceran di sekitar TKP. Oik pun bernafas lega.

Teman-teman si preman tadi yang tak terima temannya di kalahkan, akhirnya maju menyerang Cakka. Dan Cakka kembali terlibat baku hantam dengan preman-preman itu. Membuat Oik, yang tadinya sudah mampu bernafas lega, kembali was-was.

Kali ini, Cakka langsung menghadapi tiga orang. Dua orang preman yang tadi menjaga Oikpun kini melepaskan Oik dan ikut-ikutan menyerang Cakka. Oik yang sudah bebaspun, tak tinggal diam. Ia mencari sesuatu yang sekiranya bisa membuat preman-preman itu tak berdaya.

Ia mengedarkan pandangan ke arah sekitarnya. Mecari sesuatu untuk membantu Cakka. Dengan sisa tenaga dan keberanian juga tekad yang kuat untuk membantu Cakka. Ia menemukan sebuah batu yang cukup besar dan tajam di dekat pohon. Iapun segera berlari mengambil batu itu.

Ia berjalan menghampiri Cakka dan preman-preman itu. Si preman yang masih asyik beradu kekuatan dengan Cakkapun tak menyadari atau mungkin lupa bahwa mangsa mereka telah terlepas dari gengaman, dan kini akan segera menghabisinya.

Dengan mengendap-endap, Oik bejalan menuju para preman itu. Setelah berada di dekat salah satu dari mereka, iapun mengangkat batunya dan

BUUUUK

BRUUUK

Sekali pukul di atas kepalanya, si preman itu langsung ambruk seketika. Darah kembali bercucuran di sana.

Preman yang lain, masih tak memperdulikannya. Sampai akhirnya Oik kembali melayangkan batu itu ke atas kepala si preman lainnya. Barulah preman yang tersisa satu yang belum ambruk itu tersadar bahwa teman-temannya yang lain telah sekarat.

“sialan lo!” tanpa segan, tanpa tega, tanpa berpikir panjang lagi, preman itu langsung melayangkan tinjunya.

BUUUGH

Dan Oik pun jatuh terseungkur. Si preman tadi langsung melayangkan pukulan ke Oik. Membuat bibirnya berdarah karena robek. Oik yang sudah lelahpun akhirnya, memilih untuk tetap dalam posisi duduk seperti itu.

Cakka yang tidak terima, langsung kembali menghajar preman tadi. Mereka kembali beradu kekuatan.

BUGH BUGH BUGH

Cakka melayangkan pukulan terakhirnya ke si preman itu. Dan si premanpun jatuh tersungkur. Setelah merasa ialah pemenag dari pertarungan tadi, ia hanya tersenyum meremehkan. Lalu menghampiri Oik yang masih meringkuk kesakitan menahan perih di bibirnya di pinggir jalan.

“lo gapapa Ik??” tanya Cakka seraya berjongkok, mensejajarkan dirinya dengan Oik.

Namun bukannya menjawab, Oik malah memeluk Cakka dan menangis.

DEGH ada sesuatu yang sepertinya menembus hatinya. Apa ya? Oke tenang Cakka tenang! Jangan biarin gadis ini kegeeran karena mendengar detak jantungmu yang tiba-tiba menjadi seperti genderang yang mau perang ini!

“aku takut kak..” isak Oik di dada Cakka.

Cakka mengangkat tangannya. Namun ragu untuk membalas pelukan Oik. Namun karena ia kasihan, akhirnya ia mengusap-usap punggung Oik dengan kedua tangannya.

“jangan takut. Ada gue di sini…”

Cukup lama menenangkan diri dalam pelukan Cakka, akhirnya Oik melepaskannya. Entah dapat dorongan darimana, Cakka menyentuh kedua pipi Oik, lalu menghapus air mata Oik dengan ibu jarinya.

DEGH rasa itu, muncul di dalam hati mereka. Saat mata mereka bertemu. Semua terasa semakin nyata. Deru nafas mereka berdua menjadi sama-sama semakin cepat. Detak jantung mereka yang sama-sama berdetak dengan sangat cepat.

Tiba-tiba saja, seorang preman yang tadi sudah dihabisi oleh Cakka, bangkit kembali. Membuat Cakka dan Oik, tersadar dari alam lamun mereka dan dengan sigap Cakka menghajar kembali preman itu. Namun, kali ini, si preman tidak bertarung dengan tangan kosong, di tangan kirinya, ia telah menyiapkan sebuah pisau lipat. Yang jika ia mau, dapat ia gunakan kapanpun untuk mengoyak-oyak tubuh Cakka dengan pisau itu.

Dan saat akan kembali melayangkan pukulannya, tiba-tiba si preman tadi menjulurkan pisaunya ke arah Cakka. Untung saja, Cakka dengan cepat menyingkir dari preman itu. Namun, sepertinya, memang keberuntungan belum berpihak pada Cakka. Meski sudah menghindar, tetap saja lengan atasnya terkena sabetan pisau itu. Membuat darah segar mengucur deras dari lengannya.

“aw.” Pekik Cakka.

“kak!” Oik langsung bangkit berdiri.

“pergi dari sini, atau saya telpon polisi!?” ancam Oik pada si preman, tepat saat bunyi sirine mobil polisi terdengar di sana. Si preman yang sudah tidak bisa kabur ke mana-mana lagi, akhirnya tertangkap. Bersama dengan teman-temannya yang lain yang tadi sempat pingsan.

Oik menghampiri Cakka yang sedang mengerang kesakitan, dan menutupi lengannya dengan tangan satunya.

“kak, aduh. Kaka gapapakan? Masih bisa tahan ga kak? Kita pulang yuk! Tar aku obatin!”

“iya Ik, gapapa kok.”

“ayo!” Oik membantu Cakka berdiri dan memapah Cakka sampai ke mobilnya.

Karena keadaan cakka yang tidak memungkinkan untuk mengendarai mobil sekarang, akhirnya ialah yang menyetir mobil Cakka. Oik pun menyalakan mesn mobilnya. Dan segera pergi dari sana.

Bersambung……

Author: Amel^^
Facebook: Amelia Astri Riskaputri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar